Sangihe, Mutiara Tersembunyi di Ujung Utara

Wilayah perbatasan di Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, memiliki potensi wisata yang luar biasa. Potensi itu antara lain kawasan laut yang tenang (atas) dan gunung berapi Karang Etang yang selalu mengepulkan asap.

SANGIHE, - Terletak pada posisi paling utara Indonesia dan berbatasan dengan negara tetangga Filipina, Kabupaten Sangihe menyimpan potensi wisata dengan sejuta pesona mengagumkan.

Sebagai salah satu daerah kepulauan tempat terhimpunya 105 buah pulau besar dan kecil, daerah perbatasan tersebut layak menjadi salah satu kunjungan wisatawan di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).

Beragam obyek dan daya tarik wisata bagi wisatawan mancanegara (Wisman) maupun domestik dapat ditawarkan untuk berkunjung ke kabupaten yang memiliki luas daratan 736,97 Km2 dan luas lautan 11.126,61 Km2.

"Sangihe memiliki beraneka potensi wisata alam, bahari, sejarah, budaya, agro industri yang dapat menjadi magnet untuk menarik wisatawan datang ke daerah itu," kata Kepala Dinas Pariwisata Sangihe, Spencer Tamarol.

Kekayaan potensi wisata Sangihe tidak kalah dibandingkan daerah lainnya di Sulut seperti Manado dengan keindahan Taman Laut Bunaken dan Danau Tondano di Kabupaten Minahasa.

Sejumlah pesona wisata menarik dimiliki dintaranya Gunung Api bawah Laut di Pulau Mangahetang, salah satu obyek wisata yang langka dan merupakan keajaiban dunia.

Obyek wisata alam yang terletak sekitar 18 mil laut dari Kota Tahuna, dapat ditempuh dengan perahu sekitar dua jam dari Ibukota Sangihe itu, memiliki daya tarik tersendiri.

"Pesona wisata dimiliki obyek itu sangat menarik, sebab gunung api dibawah laut hanya satu-satunya di Indonesia, sementara di dunia hanya dua selain yang berada di Karibia," kata Tamarol.

Obyek lainnya adalah keindahan taman laut Pulau Kahakitang, memiliki berbagai jenis terumbu karang dan ikan yang berwarna warni dengan pantainya yang berpasir putih.

Gunung Sahendarumang terletak di Kecamatan Tamako, yang merupakan kawasan ekowisata dengan keunikan enam jenis burung endemik Sangihe dari sekitar 114 jenis burung di wilayah itu.

Lokasi wisata Bahari Nusa Tabukan, selain pantainya berpasir putih, juga memiliki terumbu karang serta taman laut indah yang tidak kalah dengan Bunaken.

Di sekitar lokasi tersebut terdapat Pulau Bukide, tempat habitat Burung Maleo serta Pulau Liang, dimana wisatawan dapat menyaksikan habitat burung Kumkum putih.

Wisatawan juga dapat melihat potensi wisata, Air Terjun Kadadima, Danau Kawah Gunung Awu, Gua Burung Walet, Makam Raja Bataha Santiago, Rumah Raja Mocodompis, serta beragam seni budaya seperti upacara adat Tulude yang dilaksanakan pada setiap 31 Januari.

Acara adat tersebut untuk mensyukuri berkat Tuhan sepanjang tahun yang telah dilewati, serta memohon berkat dan pengampunan dosa sebagai bekal hidup untuk tahun baru.

Sejumlah pesona wisata yang memiliki daya tarik tersebut, belum dapat menarik sebanyak-banyaknya turis asing maupun domestik berkunjung ke daerah itu.

"Sejumlah infrastruktur penunjang seperti jalan, telekomunikasi, alat transportasi, akomodasi yang belum mendukung menjadi kendala untuk menarik wisatawan datang ke obyek-obyek tersebut, kata Tamarol.

Kendatipun Sangihe sudah menjadi salah satu tempat kunjungan wisatawan ke Sulut, kata Tamarol, namun secara kuantitas masih sedikit dibandingan daerah lainnya di Sulut. Setiap bulan rata-rata delapan wisman datang ke daerah itu. Umumnya Wisman peneliti.

Mereka melakukan penelitian terhadap berbagai potensi alam yang juga menjadi obyek pariwisata di Sangihe. Turis asing itu berasal dari sejumlah negara di Eropa seperti Belanda, Perancis, Jerman, Belgia dan Inggris.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sangihe terus berupaya melakukan terobosan untuk menarik wisatawan datang ke daerah itu melalui peningkatan infrastruktur penunjang.

Pemerintah telah membangun dua buah cotage untuk menunjang sektor pariwisata di daerah wisata Pulau Mangahetang dengan menggunakan dana APBD senilai Rp250 juta. Sarana dan prasarana lainnya seperti jalan yang menuju maupun melewati obyek-obyek wisata tersebut terus dipacu pembangunannya.

sumber : kompas


Read More......

"Kerinan", Saat Air Danau Sentarum Surut

Pemandangan di Taman Nasional Danau Sentarum. Danau yang memiliki 510 spesies tumbuhan ini dikelilingi jajaran pegunungan, yakni Pegunungan Lanjak di sebelah utara, Pegunungan Muller di timur, Dataran Tinggi Madi di selatan, dan Pegunungan Kelingkang di barat.

Perahu kayu membelah permukaan tenang Danau Sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Perahu itu meliuk-liuk di antara rerimbunan beragam tanaman yang tumbuh dari dasar Danau Sentarum, lahan basah terbesar kedua di Asia Tenggara.

Di tengah danau, di antara rimbunan pohon, perahu berhenti. Jhony Adi, warga Danau Sentarum, melompat keluar kapal. Di bagian kering itu, air danau hanya mencapai lututnya. Dia masuk ke rerimbunan pepohonan yang menyerupai lorong itu.

Di ujung lorong tampaklah pemandangan menyerupai sebuah kolam besar dengan belasan perahu nelayan mengapung-apung.

Pyarr......pyarr...beberapa nelayan menebar jalanya. Jhony lalu masuk ke sebuah kapal dan mulai menangkap ikan. Begitu jala ditarik, ikan-ikan menggelepar di dasar perahu kayu.

Kolam itu sebetulnya cekungan di dasar danau. Danau seluas 132.000 hektar tersebut terdiri atas danau-danau kecil yang satu sama lain dihubungkan aliran sungai. Saat danau surut, air bersama ikan-ikan terperangkap di dalamnya. Saat itulah, warga melaksanakan tradisi kerinan atau menangkap ikan bersama-sama.

Siang itu, kerinan dilaksanakan di Kolam Senampon, demikian warga menamai kolam itu. Pengambilan ikan harus bersama-sama. Mereka yang mendahului akan dikenai sanksi berupa denda uang lantaran dianggap sama dengan pencurian.

Hasil tangkapan dinikmati bersama-sama dan sebagian dijual guna mengisi kas desa untuk dana keagamaan, olahraga, kegiatan pemuda, dan kepentingan kampung lainnya.

Sekali kerinan bisa diperoleh sampai 800 kilogram ikan. Terkadang sekali kerinan dapat tiga juta rupiah. Ikan tidak boleh pula semuanya dikuras dari kolam di tengah danau tersebut. ”Harus ada bagian yang disisakan agar ikan tidak habis,” ujar Jhony Adi.

Ketua lembaga swadaya masyarakat Riak Bumi, Ade Jumhur, yang hadir dalam kerinan itu berkisah, tradisi tersebut sudah ada sejak zaman Kerajaan Selimbau, ratusan tahun lalu.

Di masa silam, kerinan biasanya didahului dengan ritual bebantar, yaitu memberi ”makan” atau sesaji kepada danau. Sajian berupa buah-buahan, gandum, dan tiruan bentuk ikan. Tradisi bebantar itu sekarang sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Danau Sentarum yang sebagian besar Melayu tersebut.

Bergantung pada alam

Taman Nasional Danau Sentarum berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, atau sekitar 700 kilometer dari Kota Pontianak. Di dalam kawasan Danau Sentarum terdapat lebih dari 40 dusun permanen dan belasan dusun musiman.

Dusun-dusun telah ada di kawasan itu sejak sebelum abad ke-18 atau lebih dari dua abad yang lalu. Dahulu, di kawasan itu terdapat sekitar lima kerajaan, yakni Kerajaan Selimbau, Suhaid, Jongkong, Bunut, dan Kerajaan Piasa. Kini, batas-batas kerajaan sudah lenyap menjadi kecamatan sehingga tidak jelas lagi batas-batas kerajaan masa lalu.

Masyarakat Danau Sentarum hidup berdampingan dengan alam sejak ratusan tahun lalu. Sebagian besar masyarakat mengandalkan hidupnya dari mencari madu hutan, perajin rotan dan kayu, budi daya ikan danau, serta nelayan penangkap ikan.

Danau yang terbentuk pada zaman es atau periode pleistosen tersebut memiliki kekayaan flora dan fauna luar biasa. Ada 510 spesies tumbuhan dan 141 spesies hewan mamalia. Taman nasional itu tempat hidup 266 spesies ikan yang sekitar 78 persen di antaranya merupakan ikan endemik air tawar Borneo. Di danau ini hidup pula 26 spesies reptil dan 310 spesies burung.

Hutan di kawasan tersebut juga surga bagi lebah liar (Apis dorsata) yang mampu menghasilkan madu terbaik di Kalimantan Barat. Keaslian madu hutan Danau Sentarum telah diakui dengan didapatkannya Sertifikat Sistem Pangan Organik untuk madu hutan dari Board of Indonesian Organic Certification (BIOCert).

Selain itu, kawasan danau itu menjadi habitat berbagai jenis ikan air tawar. Ikan yang bernilai ekonomis dan dikonsumsi warga, antara lain ikan gabus, toman, baung, lais, belida, dan jelawat. Bekerja sebagai nelayan ikan merupakan pekerjaan dan sumber penghasilan utama mereka

Populasi ikan terganggu

Belakangan populasi ikan terganggu. Permintaan dan harga yang bagus terhadap ikan toman membuat penduduk sejak 10 hingga 15 tahun terakhir bersemangat membudidayakan ikan toman di dalam keramba. Para nelayan mengambil bibit toman dari danau kemudian membesarkannya di dalam keramba.

”Bibit ikan toman biasanya mengelompok sehingga sekali menebar jala ukuran panjang 1 hingga 2 sentimeter, nelayan bisa mendapat 1.000 sampai 2.000 ekor bibit,” ujar Ade yang lembaganya mendampingi warga danau untuk pengorganisasian pencari madu hutan dan nelayan.

Persoalannya, warga mengambil ikan-ikan kecil lain dari danau sebagai pakan toman. Perlahan, terjadi ketidakseimbangan populasi ikan di danau. ”Mulai terasa efeknya. Dulu mereka hanya membutuhkan sepuluh bulan budi daya untuk mendapatkan ikan seberat 1 kilogram, sekarang harus memelihara selama satu tahun agar mencapai berat yang sama. Itu karena pakan ikan dari danau berkurang,” ujarnya.

Dalam pertemuan tahunan warga danau, permasalahan itu telah dibahas. Mereka berharap dibuat balai benih di daerah Danau Sentarum untuk nantinya disebar dan mengimbangi populasi ikan di danau.

”Di Kapuas Hulu ada satu balai benih, tetapi susah diakses lantaran jarak sangat jauh dan mereka merasa tidak mungkin bisa mengakses bibit ikan di sana,” ujar Ade.

Pemecahan lainnya yang diusulkan adalah penggantian jenis ikan di keramba. Ikan toman yang karnivora atau pemangsa ikan kecil dapat diganti dengan ikan pemakan tumbuhan, seperti gurami, betutu, dan bawal. Berkurangnya pengambilan ikan kecil sebagai pakan akan memulihkan populasi ikan danau.
Kalau ikan-ikan tidak sempat lagi besar di danau, bisa jadi kerinan nanti hanya tinggal cerita Jhony Adi ke anak cucunya.

sumber : Kompas

Read More......

Wakatobi, Permai di Atas Indah di Bawah


Sungai yang sangat jernih di Pulau Wangiwangi.

HAL pertama yang rata-rata diucapkan orang kalau mendengar nama Kabupaten Wakatobi adalah, ”Wah, di manakah itu?”
Padahal, kalau kita mencoba mencari dengan mesin pencari Google, langsung terpampang 225.000 lema tentang Wakatobi, baik yang berbahasa Indonesia maupun asing.
Sesungguhnya Wakatobi sudah sangat terkenal di mancanegara, terutama setelah Ekspedisi Wallacea dari Inggris pada tahun 1995 menyebutkan bahwa kawasan di Sulawesi Tenggara ini sangat kaya akan spesies koral. Di sana, terdapat 750 dari total 850 spesies koral yang ada di dunia.

Sampai saat ini pun di Pulau Hoga, salah satu pulau kecil di Wakatobi, lembaga Ekspedisi Wallacea masih menempatkan sebuah lembaga riset yang selalu didatangi peminat dari berbagai negara.

Untuk lingkup Indonesia, Wakatobi adalah nama kabupaten yang terdiri dari empat pulau utama, yaitu Wangiwangi, Kalidupa, Tomia, dan Binongko. Jadi, Wakatobi adalah singkatan nama dari keempat pulau utamanya. Sebelum 18 Desember 2003, kepulauan ini disebut Kepulauan Tukang Besi dan masih merupakan bagian dari Kabupaten Buton.

Jadi, Wakatobi memang surga untuk penggemar olahraga selam. Sampai saat ini, ada 29 titik penyelaman yang ditawarkan kepada siapa saja yang mau datang ke sana. Mau tahu tempat penyelaman yang spektakuler di sana? Ada, nama titiknya adalah Mari Mabuk. Main-main? Bukan. Nama tempatnya memang itu dan siapa pun yang datang ke titik dekat Pulau Tomia itu pasti akan mabuk karena keindahannya.

Putri Indonesia 2005, Nadine Candrawinata, sudah membuktikan keindahan Mari Mabuk bulan April lalu saat menyelam bersama Bupati Wakatobi Hugua dan beberapa wartawan Ibu Kota.

Keindahan daratan

Baiklah, sebelum lebih jauh membicarakan Wakatobi, hal terpenting yang harus diutarakan adalah bagaimana mencapai kabupaten itu.
Cara terbaik dan termurah saat ini adalah datang dulu ke ibu kota Sulawesi Tenggara, Kendari. Dari sana, kapal reguler menuju Pulau Wangiwangi berangkat tiap pagi pukul 10 dan akan tiba di tujuan sekitar 10 sampai 12 jam kemudian. Dari Wangiwangi, perjalanan ke pulau-pulau lain bisa ditempuh dengan perahu-perahu sewaan atau perahu reguler yang sederhana, tetapi cukup aman.

Saat ini sebuah bandara sedang disiapkan di Wangiwangi. Kalau bandara ini selesai, diperkirakan pertengahan 2008, untuk mencapai Wangiwangi bisa dilakukan dengan penerbangan dari Bali, Makassar, atau Manado.

Hanya penyelamankah pesona Wakatobi?
Bukan sama sekali. Bisa dikatakan Wakatobi indah di atas dan di bawah sekaligus. Alam di sana masih bersih dan itu bisa dilihat dari beningnya sungai-sungai di sana. Perahu seakan melayang karena air di bawahnya seakan tidak terlihat.

Kesadaran akan kebersihan ini sangat disadari masyarakat setempat. Sampah plastik umumnya dikumpulkan di suatu tempat untuk dijual kepada penadah. Selain membuat pemasukan bagi penduduk, kesadaran ini relatif menjaga kelestarian alam di sana.

Pesona darat Pulau Wangiwangi adalah pada mata air-mata air di celah-celah bukit kapur, juga beberapa benteng dan masjid tua sisa Kerajaan Buton. Adapun Pulau Kalidupa dan Tomia kaya pemandangan pantai serta tarian tradisional.
Pulau terujung, yaitu Binongko, yang dulu dikenal sebagai Pulau Tukang Besi, memang dipenuhi para pandai besi. Mereka mengerjakan pembuatan aneka alat rumah tangga yang dijual sampai Makassar. Saat mereka menempa besi panas adalah atraksi menarik. Sayangnya, sebagian pandai besi sudah memakai pipa pralon menggantikan bambu sebagai alat peniup api.

Di Pulau Binongko pula penenun tradisional masih memberi pesona fotografis. Tenun yang mereka buat selama sepekan sampai sebulan bisa langsung dibeli dengan harga antara Rp 100.000 sampai Rp 1 juta tergantung mutu.
Pendek kata, kalau menginginkan keindahan alamiah, datanglah ke Wakatobi.

*From Kompas*

Read More......

Menikmati Indahnya Kubah Emas

Apa sih keistimewaan Mesjid Dian Al Mahri? Mengapa banyak orang ingin membuktikan kemegahan tempat ibadah yang biasa disebut Mesjid Kubah Emas ini? Keindahan arsitektur, lapisan emas 24 karat yang membalut kubah, dan beragam fasilitas memang membuatnya layak disebut tempat wisata religi favorit.

Sejak diresmikan pada 31 Desember 2006, Mesjid Dian Al Mahri seperti menjadi ikon baru wisata religi, selain Mesjid Istiqlal di Jakarta. Hampir sepanjang hari, puluhan bus wisata maupun kendaraan pribadi rela menembus kepadatan Jalan Raya Cinere-Meruyung. Kondisi ini semakin ramai terutama di akhir pekan atau saat musim liburan tiba.

Saking ramainya, pengunjung harus rela berjalan kaki kurang lebih satu kilometer sebelum mencapai pelataran mesjid. Maklum, tempat parkir di areal mesjid sudah tak mampu lagi menampung ratusan bus rombongan maupun kendaraan pengunjung.

Kenyataan ini dapat dijadikan gambaran bahwa mesjid ini memang menjadi buruan penggemar wisata religi khususnya di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. Saat GHS berkunjung ke mesjid seluas 8.000 meter persegi ini, bus rombongan maupun kendaraan pribadi berplat luar Jakarta, seperti Cirebon, Bandung, dan beberapa kota di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, terparkir rapi.
“Kami kelompok pengajian dari Semarang. Selain ingin menikmati keindahannya, kami juga berharap bisa salat di sini. Bagaimana sih rasanya salat di mesjid sebesar ini? Sayang sebelum sampai ke mesjid ini, kami sudah kecapekan di jalan,” ujar perempuan yang terlihat ngos-ngosan setelah berjalan dari tempat parkir.

Material Emas

Di siang atau malam hari, kemegahan maupun keindahan mesjid Dian Al Mahri memang tak pernah surut. Selain kubah dengan lapisan emas 24 karat, puncaknya selalu berubah warna setiap fajar, tengah hari, senja, dan malam.

Mesjid yang diklaim berciri arsitektur Islam kuat ini memadukan skalanya yang besar dengan ornamen yang detail guna mencerminkan kemegahan dan keindahan. Sesuai namanya, mesjid ini memang menggunakan material emas dengan tiga teknik pemasangan. Pertama, serbuk emas (prada) yang terpasang di mahkota pilar. Kedua, gold plating yang terdapat pada lampu gantung, railing tangga mezanin, pagar mezanin, ornamen kaligrafi kalimat tasbih di pucuk langit-langit kubah dan ornamen dekoratif di atas mimbar. Ketiga, gold mozaik yang terdapat di kubah utama dan kubah menara.

Mesjid ini menempati areal seluas 70 hektare dan merupakan bagian dari konsep pengembangan sebuah kawasan terpadu yang memfasilitasi kebutuhan setiap umat Islam akan sarana ibadah, dakwah, pendidikan, dan sosial yang menyatu dalam ruang lingkup kawasan bernama Islamic Center Dian Al Mahri.

Mesjid yang terletak di Kelurahan Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat ini terbagi atas ruangan utama mesjid, ruang mezanin, halaman dalam, selasar atas, selasar luar, dan ruangan fungsional lainnya yang mampu menampung 15 ribu jamaah untuk pelaksanaan salat. Untuk acara majelis taklim mampu menampung hingga 20 ribu orang.

Secara umum arsitekturnya memiliki tipologi mesjid dengan ciri kubah, minaret, halaman dalam, serta penggunaan detail atau hiasan dekoratif dengan elemen geometris dan obelisk (ukiran bergaya Mediteranian untuk memperkuat ciri keislaman pada arsitekturnya.

Batu Granit dari Brasil

Lebih lanjut, halaman dalam berukuran 45 x 57 meter, mampu menampung 8.000 orang. Salah satu sisinya berhubungan dengan ruang salat, sedangkan sisi lainnya dibatasi selasar dengan deretan pilar-pilar berbalut batu granit dari Brasil. Minaret atau menara mesjid berbentuk segienam berjumlah enam yang melambangkan rukun iman, menjulang ke angkasa setinggi 40 meter. Keenam minaret ini dibalut granit abu-abu dari Italia dengan ornamen yang melingkar. Tepat pada puncaknya terdapat kubah berlapis mozaik emas 24 karat.

Bagian paling menonjol, yakni kubah, mengacu pada kubah mesjid di Persia dan India. Lima kubah ini melambangkan rukun Islam. Seluruhnya dibalut mozaik berlapis emas 24 karat yang materialnya didatangkan dari Italia.

Di bagian dalam mesjid berdiri pilar-pilar kokoh yang menjulang ke atas guna menciptakan skala ruang yang agung, membuat mereka yang berada di dalamnya akan merasa kecil dan membangkitkan suasana tawadhu dalam keagungan Tuhan. Ruangan mesjid didominasi monokrom dengan unsur utama warna krem untuk memberi karakter ruangan yang tenang dan hangat.

Materialnya, merurut seorang penjaga mesjid, adalah marmer dari Italia dan Turki. Ornamennya menggunakan marmer hitam untuk mendapatkan unsur sakral serta warna emas untuk keindahan dan kekuatan.

Di bagian luar mesjid, terdapat taman-taman yang mengitari seluruh bagian, sehingga mampu menghidupkan suasana kesejukan dan keteduhan bagi pengunjung. Konsep penataan merupakan kolaborasi antara arsitektur bangunan mesjid bernuansa Timur Tengah di lingkungan tropis. Masih satu kompleks, tersedia ruko yang menjajakan beragam aksesori untuk cinderamata, vila tempat para pengunjung menginap, serta rumah tinggal pemilik mesjid.

Memasuki bulan Ramadan, di siang hari, jumlah pengunjung cenderung menurun. Di hari-hari biasa, mesjid ini ramai dikunjungi dari pukul 10.00 hingga 20.00. Sebaliknya, selama bulan Ramadan, aktivitas justru mulai terlihat saat sore hari. Selain itu, setiap hari juga digelar buka puasa bersama di Gedung Serba Guna yang didahului dengan taushiyyah pengantar buka puasa mulai pukul 16.00-17.00.

Mesjid ini, seperti mesjid lain, juga menggelar salat tarawih berjamaah selama bulan Ramadan. Tanggal 28 September nanti, sekaligus menyambut malam Nuzulul Qur’an, digelar beragam acara mulai pukul 05.00 hingga tengah malam. Puncaknya saat Lebaran tiba, diselenggarakan salat Idul Fitri 1 Syawal 1428 H dengan imam Ustad H Amiruddin Said SQ dan kholib dai kondang Ahmad Al Habsyi.

Untuk menuju lokasi mesjid kubah emas, pengunjung dapat melintasi Jalan Raya Cinere, Jakarta Selatan. Namun, disarankan menghindari hari Sabtu dan Minggu karena lalu lintas Jalan Raya Cinere-Meruyung relatif padat, sehingga tak jarang terjadi kemacetan parah.

Sejauh ini akses jalan menuju lokasi menjadi persoalan serius bagi pemilik sekaligus pemerintah Kota Depok. Tujuannya agar pengunjung lebih nyaman dan mesjid ini kian menjadi tempat wisata religi favorit.

* from Kompas*

Read More......

Pantai Karang Taraje Cocok untuk Berbulan Madu

KARANG Taraje, sekitar 4 kilometer dari pusat kota Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Selain alamnya yang masih asri dengan pantainya yang bersih, masyarakat sekitar nya juga sangat familiar. Ketenangan dan kondisi lingkungan objek wisata ini cocok untuk dinikmati oleh mereka yang sedang berbulan madu.

TERAMAT banyak objek wisata laut dan pantai yang dapat dikunjungi di Provinsi Banten. Selama ini Pantai Carita, Anyer, dan Karang Bolong paling dikenal wisatawan domestik maupun mancanegara. Bahkan setiap akhir pekan, Pantai Carita dan Anyer menjadi salah satu tujuan utama masyarakat Jakarta, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya untuk menghabiskan liburan akhir pekan. Alasannya, wisatawan tidak mendapatkan kenyamanan dan keasrian di objek wisata Pantai Ancol, selain itu tiket masuk maupun untuk bermain yang sangat mahal bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.

Di antara objek wisata laut dan pantai di Banten tersebut salah satunya adalah Pantai Karang Taraje. "The Beach is full of rock like ladder. Situated on Bayah subdictrict, 4 km from the bus station on the street between Bayah-Cibareno," ungkap Normand (43) mengomentari lokasi objek wisata Pantai Karang Taraje.

Objek wisata Karang Taraje, lokasinya sekitar 4 kilometer dari pusat kota Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak. Untuk menjangkau lokasi, selain akses jalan yang cukup nyaman untuk dilalui, sejumlah angkutan dari terminal Bayah siap melayani sejak pagi hingga petang. Hanya dibutuhkan waktu tidak lebih dari 20 menit.

Selain alamnya yang masih asri dengan pantainya yang bersih, juga didukung masyarakat sekitar yang sangat familiar seperti masyarakat perdesaan Sunda pada umumnya. "Ini kelebihan dari objek wisata di Lebak, anak-anak maupun dewasa akan sangat senang diajak bicara mengenai daerah sekitar objek wisata. Bahkan terkadang kalau sedang tidak ada kegiatan rutin, mereka dengan senang hati mengantar," ujar Nono Cahyono (32) salah seorang petugas Jagawana Objek Wisata Banten.

Menurut Nono, di objek wisata Karang Taraje, wisatawan benar-benar dapat menikmati liburan yang sebenarnya. Mereka tidak perlu takut saat bersantai menikmati angin pantai dan suara deburan didatangi oleh pedagang. "Karenanya objek wisata sekitar Bayah ini menjadi pilihan mereka yang sedang berbulan madu," ungkap Nono menerangkan.

Mendatangi objek wisata Karang Taraje, bagi mereka yang memiliki hobi adventure maupun wisata bahari, mungkin akan sangat menyenangkan. Karena biayanya yang relatif sangat murah, terkadang saat masuk tidak dipungut biaya, makanan khas laut terhitung sangat murah, demikian pula halnya dengan penginapan berupa rumah warga yang disewakan.

Ada banyak peristiwa alam yang dapat dinikmati wisatawan sejak terbit matahari di ufuk timur hingga terbenam di barat dan malam menjelang. Sejak pagi kita akan disuguhi pulangnya hewan-hewan malam selepas mencari makan diikuti cahaya temaram matahari.

Hamparan karang sesekali terlihat di permukaan saat ombak kembali ke lautan. Semakin siang, puncak-puncak karang akan semakin jelas terlihat dan menyerupai trap atau undak-undak. Oleh karena itu, kawasan pantai sekitar 4 kilometer ini dinamai Karang Taraje.

Di antara sela-sela karang ini pula kita dapat menikmati langsung ikan-ikan laut kecil berenang. Bahkan terkadang banyak di antara wisatawan yang membawa alat pancing untuk sekadar menghabiskan waktu dengan memancing ikan.
Tidak jauh dari Pantai Karang Taraje di lepas pantai terlihat Pulau Manuk. Dikatakan Pulau Manuk karena di pulau tersebut sejumlah jenis burung (manuk) bersarang dan berkembang biak.

Untuk menuju Pulau Manuk wisatawan dapat meminta jasa tukang perahu dengan ongkos jalan Rp 50.000, 00 untuk sekali jalan dan Rp 100.000,00 untuk dua kali jalan (pulang pergi). "Kalau rombongan akan lebih murah, dengan mengeluarkan uang Rp 20.000,00 per orang sudah dapat sampai ke pulau (Manuk)," ujar Imam (30) salah seorang penjual jasa menyewakan perahu dan mengantar wisatawan ke Pulau Manuk.

Ada banyak kegiatan yang dapat dinikmati selama di Pulau Manuk. Selain dapat menikmati habitat binatang dan alam sekitar setelah mendapat izin dari petugas pengawas pulau, pasir pantai yang putih, serta air bening kebiru-biruan menantang kita untuk menikmatinya.

Kondisi pantai yang berpasir putih tanpa karang, landai dengan ombak yang tenang sangat aman untuk berenang maupun berselancar. "Dijamin waktu satu hari penuh di Pulau Manuk akan terlewati tanpa terasa," ujar Imam setengah berpromosi. Masih kurang puas menikmati keindahan Karang Taraje dan Pulau Manuk, tidak ada salahnya mengunjungi objek wisata Pantai Ciantir Sawarna, yang jaraknya sekitar 7 kilometer dari objek wisata Karang Taraje. Objek wisata Pantai Ciantir Sawarna menyuguhkan pemandangan yang tidak kalah menariknya.

Di ujung Pantai Ciantir terdapat tanjung yang menyerupai layar sehingga penduduk setempat menyebut lokasi itu Tanjung Layar. Pantai Ciantir masih tergolong perawan dan cukup menjanjikan untuk dikunjungi oleh mereka yang baru melangsungkan pernikahan. Seperti umumnya kawasan pantai, di objek wisata Pantai Ciantir banyak dijumpai karang-karang terjal dan juga gua-gua yang sangat menarik untuk dilongok. Kehadiran nelayan-nelayan tradisional yang menggunakan perahu-perahu kecil dengan layarnya juga merupakan suguhan yang sangat menarik untuk dinikmati.

Kalau masih belum puas dan kita masih memiliki waktu, masih ada sejumlah pantai yang dapat dikunjungi di Kab. Lebak. Ya, selain Karang Taraje dengan Pulau Manuknya serta Pantai Ciantir, juga ada objek wisata Pantai Bagedur dengan hamparan pasirnya yang sangat luas mencapai 7 kilometer, serta pantai dan muara Binuangeun.

Sekali lagi, kelebihan dari objek wisata laut dan pantai di Kabupaten Lebak, selain masih asri dan alamiah juga keramahan masyarakatnya. Di sini para wisatawan dapat menikmati aktivitas para nelayan mendaratkan hasil tangkapannya untuk dilelang, sedangkan di sepanjang pantai banyak tempat yang nyaman untuk beristirahat bersama keluarga. Jadi, cobalah untuk berkunjung.
* From Pikiran Rakyat*

Read More......

Jembatan Akar Bayang

Objek wisata ini terletak kurang lebih 88km ke arah Selatan dari kota Padang. Kira-kira +/- 5km sebelum Painan dari perjalanan Padang - Teluk Bayur - Painan, anda akan bertemu dengan pertigaan jalan menuju Jembatan Akar. Anda belok kiri di sini, dan mengikuti jalan kecil sepanjang +/- 18 km yang nantinya akan anda temukan sebuah sungai dengan lebar sekitar 30-35m yang bening, berarus deras namun amat menyejukkan di selingi dengan batu2 besar.

Diatas sungai inilah membentang sebuah jembatan yang terkenal sebagai salah satu objek wisata andalan Sumatera Barat, yang dinamai oleh penduduk setempat dengan nama Jambatan Aka (Jembatan Akar). Sesuai dengan namanya, jembatan ini terbuat dari akar-akar (aka) dua pohon yang berseberangan. Panjang jembatan sekitar 30 meter, lebar lantai satu meter, dan tinggi dinding pengaman kurang lebih satu meter. Ketinggiannya dari dasar sungai sekitar enam meter.Aneh bin ajaib, jembatan yang menghubungkan Desa Pulut-pulut dengan Desa Lubuak Silau ini tercipta bukan oleh teknologi mutakhir, tetapi oleh kepanjangakalan manusia dan proses alami. Kini umur Jembatan Akar itu lebih 90 tahun.

Menurut keterangan yang dihimpun Kompas, Jembatan Akar itu dirancang oleh Pakiah Sokan alias Angku Ketek bersama masyarakat Desa Pulut-pulut, tempat jembatan ini berada. Di Pesisirselatan, Pakiah Sokan adalah seorang yang berilmu tinggi dan sering memberikan pengajian. Terbit ide untuk membuat Jembatan Akar, setelah titian bambu yang biasa digunakan masyarakat, sering hancur dan diseret air bah bila Sungai Batang Bayang meluap. Bagi Pakiah Sokan, yang tiap harinya memberikan pengajian ke desa seberang (Lubuak Silau), meski jembatan tidak ada, aktivitas tetap bisa dijalankan. Karena dengan segala kepandaiannya, ia bisa berjalan di atas air.

Namun, bagi masyarakat awam hal ini tentu masalah. Terputusnya hubungan dua desa karena tiadanya jembatan. Suatu kali terpikir oleh Pakiah Sokan untuk menanam pohon beringin dan pohon asam kumbang, tak jauh dari titian bambu.Waktu terus berjalan, dari hari ke bulan, dan ke tahun serta seterusnya. Pohon beringin dan asam kumbang yang ditanam di masing-masing di pangkal titian bambu terus tumbuh dan berkembang. Akar-akarnya yang tak membumi karena tertahan bebatuan. Akar-akar itu bergelantungan, dimasukkan dan dililitkan pada titian bambu tadi.Tahun demi tahun akar-akar kedua pohon itu terus tumbuh dan berkembang, menjadi panjang, besar, dan lebat.

"Lima belas tahun kemudian atau tahun 1916 silam, lilitan-lilitan akar sudah tercipta bagaikan jembatan. Jembatan ini punya pantai dan dinding pengaman yang semakin baik dan kukuh," cerita seorang tetua di Desa Pulut-pulut.Sekarang, Jembatan Akar yang panjangnya sekitar 30 meter itu semakin kukuh dan kuat. Lantai dan dinding jembatan dipenuhi akar-akar yang rapat dan menyatu kuat, sebesar paha dan pangkal lengan orang dewasa. Jembatan itu tidak mudah goyah, bahkan sekalipun dilewati lima orang.

"Namun untuk pengamanan, agar Jembatan Akar itu tidak putus, kini dipasang tali penyangga yang terbuat dari baja. Dalam waktu dekat, lalu lintas masyarakat membawa hasil bumi yang selama ini memanfaatkan Jembatan Akar akan dialihkan ke jembatan gantung yang akan dibangun tidak jauh dari lokasi Jembatan Akar. Sedang keberadaan Jembakar Akar khusus untuk wisatawan," ungkap Bupati Darizal Basir.Secara terpisah, Kakanwil Depparpostel Sumbar, Drs Rusjdi, mengatakan, sebagai obyek wisata andalan Sumbar, prasarana dan sarana di Jembatan Akar terus dibenahi.

"Fasilitas umum di sekitar lokasi sudah hampir lengkap, antara lain mushala, toilet, tempat parkir dan pelindung," tuturnya. Tahap selanjutnya akan dibangun restoran, cottage, kedai cenderamata, dan warung telepon.Yang terasa kurang saat ini, barangkali hanyalah fasilitas untuk ganti pakaian karena toilet yang ada tidak memadai untuk itu. Wisatawan biasanya mandi di Batang Bayang, sekitar jembatan akar tersebut. Konon kabarnya, mereka yang mandi di sini bisa awet muda.

Read More......

Baturaden dan Pesona Lereng Gunung Slamet

Gunung Slamet adalah gunung tertinggi di Jawa Tengah dan merupakan gunung tertinggi kedua di P. Jawa dengan ketinggian 3.432m. Pada masa penjelajahan dunia yang pertama Sir Frances Drake ketika melihat Gunung Slamet, segera mengarahkan perahunya dan berlabuh di Cilacap.

Gn. Slamet dapat didaki melalu 3 jalur, lewat jalur sebelah Barat Kaliwadas, lewat jalur sebelah selatan Batu Raden dan lewat jalur sebelah timur Bambangan. Dari ketiga jalur tersebut yang terdekat adalah lewat Bambangan, selain pemandangannya indah juga banyaknya kera liar yang dapat ditemui dalam perjalanan menuju ke puncak slamet.

JALUR BAMBANGAN

Jalur Bambangan adalah jalur yang sangat populer dan merupakan jalur yang paling sering didaki. Route Bambangan merupakan route terpendek dibandingkan route Batu Raden dan Kali Wadas. Dari kota Purwokerto naik bus ke tujuan Purbalingga dan dilanjutkan dengan bus dengan tujuan Bobot sari turun di Serayu. Perjalanan disambung menggunakan mobil bak angkutan pedesaan menuju desa Bambangan, desa terakhir di kaki gunung Slamet.

Di dusun yang berketinggian 1279 mdpi ini para pendaki dapat memeriksa kembali perlengkapannya dan mengurus segala administrasi pendakian.

Pertama-tama menuju pos Payung dengan keadaan medan terjal dengan arah belok kanan. Pendaki akan melewati ladang penduduk selama 1 jam. Pos Payung merupakan pos pendakian yang menyerupai payung raksasa dan masih berada di tengah-tengah perkebunan penduduk. Selepas pos Payung pendakian dilanjutkan menuju pondok Walang dengan jalur yang sangat licin dan terjal di tengah-tengah lingkungan hutan hujan tropis, selama kurang lebih2 jam. Selepas pondok Walang, medan masih seperti sebelumnya, jalur masih tetap menanjak di tengah panorama hutan yang sangat lebat dan indah, selama kira-kira 2 jam menuju Pondok Cemara.

Sebagaimana namanya, pondok Cemara dikelilingi oleh pohon cemara yang diselimuti oleh lumut. Selepas pondok Cemara pendakian dilanjutkan menuju pos Samaranthu. Selama kira-kira 2 jam dengan jalur yang tetap menanjak dan hutan yang lebat.

Samaranthu merupakan pos ke 4. Kira-kira 15 menit dari pos ini terdapat mata air bersih yang berupa sungai kecil. Selepas Samaranthu, medan mulai terbuka dengan vegetasi padang rumput.

Pendaki akan melewati Sanghiang Rangkah yang merupakan semak-semak yang asri dengan Adelweiss di sekelilingnya, dan sesekali mendapati Buah Arbei di tengah-tengah pohon yang menghalangi lintasan pegunungan. Pendaki juga akan melewati Sanghiang Jampang yang sangat indah untuk melihat terbitnya matahari. Kira-kira 30 menit kemudian pendaki akan tiba di Plawangan.

Plawangan (lawang-pintu) merupakan pintu menuju puncak Slamet. Dari tempat ini pendaki akan dapat menikmati panorama alam yang membentang luas di arah timur. Selepas Plawangan lintasan semakin menarik sekaligus menantang, selain pasir dan bebatuan sedimentasi lahar yang mudah longsor pada sepanjang lintasan, di kanan kiri terdapat jurang dan tidak ada satu pohon pun yang dapat digunakan sebagai pegangan.

Di daerah ini sering terjadi badai gunung, oleh karena itu pendaki disarankan untuk mendaki di pagi hari. Kebanyakan pendaki meninggalkan barang-barang mereka di bawah, untuk memperingan beban. Dari Plawangan sampai di puncak dibutuhkan waktu 30- 60 menit. Dari sini pendaki dapat melihat puncak Slamet yang begitu besar dan hamparan kaldera yang sangat luas dan menakjubkan, yang biasa disebut dengan Segoro Wedi.

Baturaden

HAWA sejuk akan menyambut kita saat memasuki kawasan wisata Baturaden yang berada di lereng Gunung Slamet

Kawasan dengan ketinggian sekitar 640 meter di atas permukaan laut (dpl) dan berjarak sekitar 14 kilometer arah utara Purwokerto, Jawa Tengah, terkenal memiliki pemandangan alam yang indah.

Suku udara yang berkisar 18--25 derajat Celsius itu menawarkan berbagai panorama alam dan atraksi kesenian tradisional Kabupaten Banyumas.

Selain itu, terdapat kafe-kafe yang menyajikan live music maupun karaoke buat pengunjung yang ingin hiburan atau menyalurkan bakat tarik suaranya. Biasanya kafe ini mulai beroperasi sore hingga malam hari sebagai sarana hiburan pengunjung yang menginap di kawasan Baturaden. Sama halnya dengan kawasan puncak, di Baturaden ini terdapat vila-vila yang disewakan bagi pengunjung atau wisatawan.

Wisatawan pun dapat dengan mudah menjangkau kawasan wisata itu lantaran akses jalan utama dari Purwokerto menuju Baturaden dalam kondisi baik sehingga memberi kenyamanan dalam berkendaraan.

Wisatawan dapat juga menggunakan jalan alternatif yang melalui Desa Ketenger, sembari menikmati suasana pedesaan yang tenang meski jarak tempuhnya sedikit lebih jauh dibanding dengan jalur utama.

Tiket untuk memasuki kawasan wisata yang dipungut petugas di Gerbang Mandala Wisata terbilang murah. Cukup dengan membayar Rp1.000 (sepeda motor), Rp2.500 (mobil pribadi), Rp4.000 (mikrobus), dan Rp8.000 (bus besar), wisatawan dapat menikmati kesejukan alam Baturaden.

Bagi wisatawan yang datang menggunakan angkutan umum pun tidak akan repot untuk menjangkau Baturaden lantaran dari Terminal Bus Purwokerto tersedia angkutan wisata menuju kawasan itu dengan tarif Rp5.000 per orang dan bisa juga menggunakan taksi.

Untuk menikmat panorama Baturaden, wisatawan dapat memilih kunjungan ke lokawisata, wanawisata, atau keduanya lantaran di kawasan ini terdapat dua objek wisata yang dikelola dua instansi berbeda.

"Di kawasan wisata Baturaden terdapat dua objek kunjungan, yakni lokawisata yang dikelola Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan wanawisata milik PT Palawi," kata Kepala Bidang Objek dan Pemasaran Wisata Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Kabupaten Banyumas Darwis Tjahjono.

Lokawisata

Lokawisata Baturaden menempati lahan seluas 16,5 hektare yang menyajikan keindahan alam pegunungan, khususnya lereng Gunung Slamet.

Dengan membayar tiket masuk Rp3.000 per orang pada hari biasa atau Rp5.000 pada hari libur, pengunjung bisa menikmati panorama Baturaden dari jembatan pengganti jembatan gantung yang putus pada 2006.

Jembatan permanen yang memiliki panjang 35 meter dan lebar 2,5 meter itu dapat berfungsi sebagai gardu pandang dan mampu menampung beban sekitar 800 kilogram per meter persegi.

Pengunjung juga bisa menikmati alunan musik alam berupa gemericik air yang mengalir di antara bebatuan Sungai Gumawang di bawah jembatan tersebut.

Selain itu, berbagai atraksi kesenian tradisional maupun hiburan musik dangdut juga digelar pada hari-hari libur.

Untuk melepas letih, kata Darwis, pengunjung bisa menikmati pemandian air belerang hangat di kolam renang atau kamar mandi VIP yang bersumber dari Pancuran Telu (Tiga Pancuran).

"Namun untuk menikmatinya, pengunjung dikenakan tarif Rp3.000 untuk kamar mandi VIP sedangkan kolam air hangat cukup membayar Rp2.000," katanya.

Air hangat yang mengandung berbagai mineral, khususnya belerang, dipercaya mampu menyembuhkan rematik dan penyakit kulit.

Lokawisata Baturaden juga menyediakan fasilitas permainan anak-anak, panorama air terjun Gumawang, kolam renang air dingin yang bersumber dari Gunung Slamet, kebun binatang Taman Kaloka Widya Mandala, dan berbagai sarana lain.
"Bagi pengunjung yang ingin bermalam telah tersedia berbagai penginapan, hotel, dan vila," kata Darwis.

Ia mengatakan kini lokawisata Baturaden sedang melakukan berbagai pengembangan objek wisata dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan dan alam pegunungan.

Menurut dia, area lokawisata seluas 16,5 hektare tersebut akan dilengkapi taman botani seluas 4,5 ha yang menyuguhkan berbagai jenis anggrek dan tanaman lain.

"Taman botani ini sebelumnya pernah ada, namun bangunan green house-nya rusak akibat diterjang angin puting beliung tahun lalu," katanya.
Dinas Pariwisata dan Budaya berencana membangun kembali green house tersebut sehingga diharapkan dapat lebih meningkatkan jumlah kunjungan wisata.

Selain itu, pada Lokawisata Baturaden direncanakan akan dibangun sebuah air terjun bertingkat meskipun di tempat tersebut telah ada air terjun Gumawang.

Wanawisata

Salah satu objek wisata di kawasan Baturaden berupa wanawisata yang dikelola PT Perhutani Alam Wisata (PT Palawi) yang merupakan anak perusahaan PT Perhutani.

Menurut staf pemasaran PT Palawi Unit Kerja Baturaden, Sutoto, wanawisata Baturaden yang memiliki luas area sekitar 59 hektare menawarkan berbagai objek dan kegiatan wisata alam.

Objek wisata yang berada dalam wanawisata, antara lain Pancuran Pitu (Pancuran Tujuh) berupa sumber air hangat yang mengandung berbagai mineral khususnya belerang.

Untuk menjangkau Pancuran Pitu, pengunjung yang tidak membawa kendaraan pribadi dapat memanfaatkan angkutan wisata yang tersedia di Terminal Baturaden dengan ongkos Rp6.000 per orang.

"Namun saat memasuki wanawisata, setiap wisatawan dikenakan tarif sesuai dengan tiket yang dibutuhkan," kata Sutoto.

Menurut dia, wisatawan dapat memilih tiket lokal dengan tarif Rp5.000 pada hari biasa dan Rp7.500 khusus hari ramai (libur) atau tiket terusan dengan tarif Rp10 ribu untuk anak-anak dan Rp15 ribu untuk dewasa.

Untuk tiket terusan ada yang dijual di tempat tertentu di wanawisata seharga Rp12.500, kata dia, dengan asumsi pengunjung telah membayar tiket masuk.

Selain Pancuran Pitu, wanawisata Baturaden juga menawarkan keindahan panorama Telaga Sunyi, kebun raya, kegiatan outbound, paintball, bumi perkemahan yang mampu menampung lebih dari 200 tenda, dan beberapa kegiatan lain.

Sejarah

Keberadaan Baturaden tidak lepas dengan dua cerita yang telah melegenda secara turun-temurun tentang asal-usul tempat tersebut yakni Kadipaten Kutaliman dan Patilasan Syekh Maulana Maghribi.
Dalam versi pertama disebutkan tentang kisah cinta seorang pembantu dengan putri seorang Adipati dari Kadipaten Kutaliman yang berada di sebelah barat Baturaden.

Kisah cinta mereka tidak direstui sang adipati dan diusir dari kadipaten. Pada akhir pengembaraannya, mereka menemukan sebuah tempat yang asri dan diputuskan untuk menetap di sana.

Berdasar pada kisah tersebut, tempat itu dikenal dengan nama "Baturaden" yang berasal dari kata "batur" (pembantu) dan "raden" (majikan).
Sementara itu, dalam versi lain menyebutkan pada saat Syekh Maulana Maghribi (ulama dari Turki) melakukan perjalanan menyebarkan agama Islam dan menetap di Banjarcahyana, dia menderita penyakit kulit yang sulit disembuhkan.

Dia pun menjalankan salat tahajud dan mendapatkan ilham agar pergi ke Gunung Gora. Dengan ditemani sahabatnya, Haji Datuk, dia berangkat ke gunung itu.

Sesampainya di lereng gunung itu, Syekh Maulana Maghribi meminta Haji Datuk meninggalkannya. Di tempat itu, dia menemukan sumber air panas dengan tujuh pancuran sehingga disebutnya sebagai Pancuran Pitu.

Selama berada di sana, Syekh Maulana Maghribi selalu menggunakan air tersebut untuk mandi hingga akhirnya penyakit kulit yang diderita hilang.

Warga di sekitar Pancuran Pitu menyebut Syekh Maulana Maghribi dengan sebutan Mbah Tapa Angin atau Mbah Atas Angin lantaran berasal dari negeri yang sangat jauh.

Hingga kini, tempat yang pernah ditempati Syekh Maulana Maghribi dikenal dengan Patilasan Mbah Tapa Angin dan selalu dikunjungi orang-orang dari wilayah Pekalongan, Banjarnegara, dan Purbalingga setiap malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon.

Sementara itu, tempat teman Syekh Maulana Maghribi menunggu dikenal dengan nama Baturaden yang berasal dari nama Haji Datuk Rusuhudi yang artinya pembantu setia. Selain itu, nama Gunung Gora pun diganti dengan Gunung Slamet yang berarti selamat.

Read More......

Ujung Genteng yang Menantang

SUARA debur ombak menghantam bebatuan karang terdengar sangat keras. Belum usai buih air memutih kembali ke tengah, ombak lain susul-menyusul menepi, kembali menciptakan suara keras menghadirkan kepuasan tersendiri.

Palabuhanratu dengan pantainya yang penuh bebatuan, ombak tinggi dan mengeluarkan suara gemuruh saat menghantam bebatuan di bibir pantai, selama ini selalu menghadirkan kesan tersendiri bagi setiap pengunjungnya.

Memang, dibandingkan dengan Pangandaran di Kabupaten Ciamis Jawa Barat, pamor kawasan wisata laut dan pantai Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, masih kalah. Selain infrastruktur menuju sejumlah objek wisata masih kurang memadai, ombak besar dan mitos Nyai Roro Kidul sebagai penguasa Pantai Selatan begitu kuat "hidup" di masyarakat.

Objek wisata berjarak sekitar 63 kilometer arah selatan dari pusat Kota Sukabumi ini juga menawarkan sejumlah keasrian alam. Tidak hanya alam dan objek wisata kuliner pantai yang ditawarkan Palabuhanratu, ada objek lain yang bisa ditelusuri. Ada Pantai Karang Hawu dengan makamnya yang dipercaya sebagai makam Ratu Nyai Roro Kidul. Di sebelahnya, terdapat makam Eyang Sanca Manggala, Eyang Jalah Mata Makuta dan Eyang Syeh Husni Ali.

Selain pantai Karang Hawu, ada beberapa lokasi lain yang mudah disinggahi, semisal pantai Cibareno, Cimaja, Cibangban, Break Water, Citepus Kebon Kelapa, dan Tanjo Resmi. Di lokasi terakhir terdapat tempat peristirahatan Prsiden RI pertama, Soekarno yang dibangun pada 1960.

Sekitar 17 km dari Pantai Palabuhanratu terdapat sumber air panas di Cisolok, airnya mengandung belerang dengan kadar tinggi dan berguna bagi kesehatan.

Di sekitar Palabuhanratu, paling tidak ada sembilan lokasi untuk berselancar yaitu di Batu Guram, Karang Sari, Samudra Beach, Cimaja, Karang Haji, Indicator, Sunset Beach, Ombak Tujuh sampai Ujung Genteng. Masing-masing pantai mempunyai ombak dengan karakteristiknya sendiri.

Khusus objek wisata Ujung Genteng, air lautnya yang jernih pertanda betapa masih alaminya lingkungan Ujung Genteng. Ombaknya yang besar tidak terlalu membahayakan wisatawan yang ingin mandi di pantai. Ombak besar dari tengah samudera lebih dulu pecah berserak lantaran terhalang gugusan karang laut.

Mencapai Ujung Genteng yang berjarak sekitar 220 kilometer dari Jakarta dan 230 kilometer dari Bandung, relatif mudah karena sudah banyak angkutan umum yang beroperasi. Waktu tempuh sekitar enam hingga tujuh jam perjalanan bermobil. Selain jalannya cukup mulus juga terdapat beberapa jalur alternatif yang dapat dilalui untuk menuju tempat tersebut.

Perjalanan dari Bandung dapat melalui Cibadak dan Cisaat menyusuri Jalan Raya Palabuhanratu kemudian berbelok menuju arah Ujung Genteng, sebelum masuk Kota Palabuhanratu. Sedangkan dari arah Jakarta atau Bogor dapat melalui jalur alternatif di Parung Kuda menjelang Cibadak.

Sepanjang jalan hingga ke Palabuhanratu kita dapat menikmati udara segar dan pemandangan serba hijau hamparan perkebunan karet, perkebunan teh, hingga perkebunan kelapa sawit. Jalannya berkelok-kelok dan naik turun.

Baik wisatawan dari Bandung maupun Jakarta atau daerah lain banyak yang menyarankan untuk singgah di kawasan wisata Palabuhanratu. "Ya, karena jarak menuju Ujung Genteng dari Palabuhanratu masih sekitar 85 kilometer lagi. Selain perjalanan masih jauh, kita juga harus melintasi jalanan yang kondisinya berliku, naik turun, serta kurang baik sehingga perjalanan ke sana membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam," ujar Bambang (43), pemandu wisata khusus Ujung Genteng.

Jika rute yang dilalui adalah Jampang Kulon dan Surade, dijamin tidak akan membuat kita merasa lelah. Sepanjang jalan tersaji pemandangan indah. Menyusuri jalan berkelok dengan jurang dalam di sampingnya, kawasan hutan di kiri-kanannya umumnya telah berganti dengan rumpun pohon pisang.

Pencinta off-road banyak memilih melalui rute Ciracap Ciemas . Selain tidak perlu melewati Jampang Kulon, kondisi jalan bebatuan sangat menantang untuk dilalui wisatawan petualang. Kendati demikian, rasa lelah dan penat diperjalanan akan terbayar. Pasalnya, sekitar 5 kilometer sebelum masuk Ujung Genteng mata kita akan disuguhi pemandangan alam yang sangat menakjubkan. Di sela-sela barisan pohon kelapa kita akan melihat pantulan sinar matahari menimpa air.

Sesampai di Ujung Genteng, kenyamanan suasana pantai semakin terasa. Sebelum menikmati pantai, ada baiknya terlebih dahulu mencari penginapan jika memang memutuskan untuk bermalam. Sarana itu mudah ditemukan di sepanjang jalan di pantai Ujung Genteng.

Villa atau bungalo yang bersih dan asri memasang tarif bermalam relatif murah, tidak lebih dari Rp 150.000,00. Bila kita mengginginkan suasana yang lebih alami, Cibuaya menjadi alternatif untuk bermalam.

Untuk keperluan makan dan minum, di tempat tersebut terdapat warung yang menyediakan aneka kebutuhan. Menjelang sore kita bisa menyambut para pria pulang melaut membawa hasil tangkapannya berupa ikan hias. Para nelayan ini hanya menggunakan perlengkapan selam yang sangat sederhana. Mereka memanfaatkan sebuah kompresor angin yang diulur dengan slang plastik ratusan meter sebagai bantuan oksigen bagi para penyelam yang berada di dasar laut.

Hanya dengan membayar Rp 20.000,00 per orang kita akan dipandu melihat habitat kura-kura berkembang biak. Lokasinya sekitar satu kilometer ke arah utara dari Ujung Genteng,

Minimnya jumlah kunjungan wisatawan ke Ujung Genteng justru dijadikan wisatawan asal luar negeri sebagai tempat favorit. "Karena disini tidak banyak gangguan. Selain peselancar juga banyak pasangan muda yang menjadikan Ujung Genteng sebagai tempat berwisata," ujar Arman (44) pemadu setempat.

Read More......