Baturaden dan Pesona Lereng Gunung Slamet

Gunung Slamet adalah gunung tertinggi di Jawa Tengah dan merupakan gunung tertinggi kedua di P. Jawa dengan ketinggian 3.432m. Pada masa penjelajahan dunia yang pertama Sir Frances Drake ketika melihat Gunung Slamet, segera mengarahkan perahunya dan berlabuh di Cilacap.

Gn. Slamet dapat didaki melalu 3 jalur, lewat jalur sebelah Barat Kaliwadas, lewat jalur sebelah selatan Batu Raden dan lewat jalur sebelah timur Bambangan. Dari ketiga jalur tersebut yang terdekat adalah lewat Bambangan, selain pemandangannya indah juga banyaknya kera liar yang dapat ditemui dalam perjalanan menuju ke puncak slamet.

JALUR BAMBANGAN

Jalur Bambangan adalah jalur yang sangat populer dan merupakan jalur yang paling sering didaki. Route Bambangan merupakan route terpendek dibandingkan route Batu Raden dan Kali Wadas. Dari kota Purwokerto naik bus ke tujuan Purbalingga dan dilanjutkan dengan bus dengan tujuan Bobot sari turun di Serayu. Perjalanan disambung menggunakan mobil bak angkutan pedesaan menuju desa Bambangan, desa terakhir di kaki gunung Slamet.

Di dusun yang berketinggian 1279 mdpi ini para pendaki dapat memeriksa kembali perlengkapannya dan mengurus segala administrasi pendakian.

Pertama-tama menuju pos Payung dengan keadaan medan terjal dengan arah belok kanan. Pendaki akan melewati ladang penduduk selama 1 jam. Pos Payung merupakan pos pendakian yang menyerupai payung raksasa dan masih berada di tengah-tengah perkebunan penduduk. Selepas pos Payung pendakian dilanjutkan menuju pondok Walang dengan jalur yang sangat licin dan terjal di tengah-tengah lingkungan hutan hujan tropis, selama kurang lebih2 jam. Selepas pondok Walang, medan masih seperti sebelumnya, jalur masih tetap menanjak di tengah panorama hutan yang sangat lebat dan indah, selama kira-kira 2 jam menuju Pondok Cemara.

Sebagaimana namanya, pondok Cemara dikelilingi oleh pohon cemara yang diselimuti oleh lumut. Selepas pondok Cemara pendakian dilanjutkan menuju pos Samaranthu. Selama kira-kira 2 jam dengan jalur yang tetap menanjak dan hutan yang lebat.

Samaranthu merupakan pos ke 4. Kira-kira 15 menit dari pos ini terdapat mata air bersih yang berupa sungai kecil. Selepas Samaranthu, medan mulai terbuka dengan vegetasi padang rumput.

Pendaki akan melewati Sanghiang Rangkah yang merupakan semak-semak yang asri dengan Adelweiss di sekelilingnya, dan sesekali mendapati Buah Arbei di tengah-tengah pohon yang menghalangi lintasan pegunungan. Pendaki juga akan melewati Sanghiang Jampang yang sangat indah untuk melihat terbitnya matahari. Kira-kira 30 menit kemudian pendaki akan tiba di Plawangan.

Plawangan (lawang-pintu) merupakan pintu menuju puncak Slamet. Dari tempat ini pendaki akan dapat menikmati panorama alam yang membentang luas di arah timur. Selepas Plawangan lintasan semakin menarik sekaligus menantang, selain pasir dan bebatuan sedimentasi lahar yang mudah longsor pada sepanjang lintasan, di kanan kiri terdapat jurang dan tidak ada satu pohon pun yang dapat digunakan sebagai pegangan.

Di daerah ini sering terjadi badai gunung, oleh karena itu pendaki disarankan untuk mendaki di pagi hari. Kebanyakan pendaki meninggalkan barang-barang mereka di bawah, untuk memperingan beban. Dari Plawangan sampai di puncak dibutuhkan waktu 30- 60 menit. Dari sini pendaki dapat melihat puncak Slamet yang begitu besar dan hamparan kaldera yang sangat luas dan menakjubkan, yang biasa disebut dengan Segoro Wedi.

Baturaden

HAWA sejuk akan menyambut kita saat memasuki kawasan wisata Baturaden yang berada di lereng Gunung Slamet

Kawasan dengan ketinggian sekitar 640 meter di atas permukaan laut (dpl) dan berjarak sekitar 14 kilometer arah utara Purwokerto, Jawa Tengah, terkenal memiliki pemandangan alam yang indah.

Suku udara yang berkisar 18--25 derajat Celsius itu menawarkan berbagai panorama alam dan atraksi kesenian tradisional Kabupaten Banyumas.

Selain itu, terdapat kafe-kafe yang menyajikan live music maupun karaoke buat pengunjung yang ingin hiburan atau menyalurkan bakat tarik suaranya. Biasanya kafe ini mulai beroperasi sore hingga malam hari sebagai sarana hiburan pengunjung yang menginap di kawasan Baturaden. Sama halnya dengan kawasan puncak, di Baturaden ini terdapat vila-vila yang disewakan bagi pengunjung atau wisatawan.

Wisatawan pun dapat dengan mudah menjangkau kawasan wisata itu lantaran akses jalan utama dari Purwokerto menuju Baturaden dalam kondisi baik sehingga memberi kenyamanan dalam berkendaraan.

Wisatawan dapat juga menggunakan jalan alternatif yang melalui Desa Ketenger, sembari menikmati suasana pedesaan yang tenang meski jarak tempuhnya sedikit lebih jauh dibanding dengan jalur utama.

Tiket untuk memasuki kawasan wisata yang dipungut petugas di Gerbang Mandala Wisata terbilang murah. Cukup dengan membayar Rp1.000 (sepeda motor), Rp2.500 (mobil pribadi), Rp4.000 (mikrobus), dan Rp8.000 (bus besar), wisatawan dapat menikmati kesejukan alam Baturaden.

Bagi wisatawan yang datang menggunakan angkutan umum pun tidak akan repot untuk menjangkau Baturaden lantaran dari Terminal Bus Purwokerto tersedia angkutan wisata menuju kawasan itu dengan tarif Rp5.000 per orang dan bisa juga menggunakan taksi.

Untuk menikmat panorama Baturaden, wisatawan dapat memilih kunjungan ke lokawisata, wanawisata, atau keduanya lantaran di kawasan ini terdapat dua objek wisata yang dikelola dua instansi berbeda.

"Di kawasan wisata Baturaden terdapat dua objek kunjungan, yakni lokawisata yang dikelola Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan wanawisata milik PT Palawi," kata Kepala Bidang Objek dan Pemasaran Wisata Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Kabupaten Banyumas Darwis Tjahjono.

Lokawisata

Lokawisata Baturaden menempati lahan seluas 16,5 hektare yang menyajikan keindahan alam pegunungan, khususnya lereng Gunung Slamet.

Dengan membayar tiket masuk Rp3.000 per orang pada hari biasa atau Rp5.000 pada hari libur, pengunjung bisa menikmati panorama Baturaden dari jembatan pengganti jembatan gantung yang putus pada 2006.

Jembatan permanen yang memiliki panjang 35 meter dan lebar 2,5 meter itu dapat berfungsi sebagai gardu pandang dan mampu menampung beban sekitar 800 kilogram per meter persegi.

Pengunjung juga bisa menikmati alunan musik alam berupa gemericik air yang mengalir di antara bebatuan Sungai Gumawang di bawah jembatan tersebut.

Selain itu, berbagai atraksi kesenian tradisional maupun hiburan musik dangdut juga digelar pada hari-hari libur.

Untuk melepas letih, kata Darwis, pengunjung bisa menikmati pemandian air belerang hangat di kolam renang atau kamar mandi VIP yang bersumber dari Pancuran Telu (Tiga Pancuran).

"Namun untuk menikmatinya, pengunjung dikenakan tarif Rp3.000 untuk kamar mandi VIP sedangkan kolam air hangat cukup membayar Rp2.000," katanya.

Air hangat yang mengandung berbagai mineral, khususnya belerang, dipercaya mampu menyembuhkan rematik dan penyakit kulit.

Lokawisata Baturaden juga menyediakan fasilitas permainan anak-anak, panorama air terjun Gumawang, kolam renang air dingin yang bersumber dari Gunung Slamet, kebun binatang Taman Kaloka Widya Mandala, dan berbagai sarana lain.
"Bagi pengunjung yang ingin bermalam telah tersedia berbagai penginapan, hotel, dan vila," kata Darwis.

Ia mengatakan kini lokawisata Baturaden sedang melakukan berbagai pengembangan objek wisata dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan dan alam pegunungan.

Menurut dia, area lokawisata seluas 16,5 hektare tersebut akan dilengkapi taman botani seluas 4,5 ha yang menyuguhkan berbagai jenis anggrek dan tanaman lain.

"Taman botani ini sebelumnya pernah ada, namun bangunan green house-nya rusak akibat diterjang angin puting beliung tahun lalu," katanya.
Dinas Pariwisata dan Budaya berencana membangun kembali green house tersebut sehingga diharapkan dapat lebih meningkatkan jumlah kunjungan wisata.

Selain itu, pada Lokawisata Baturaden direncanakan akan dibangun sebuah air terjun bertingkat meskipun di tempat tersebut telah ada air terjun Gumawang.

Wanawisata

Salah satu objek wisata di kawasan Baturaden berupa wanawisata yang dikelola PT Perhutani Alam Wisata (PT Palawi) yang merupakan anak perusahaan PT Perhutani.

Menurut staf pemasaran PT Palawi Unit Kerja Baturaden, Sutoto, wanawisata Baturaden yang memiliki luas area sekitar 59 hektare menawarkan berbagai objek dan kegiatan wisata alam.

Objek wisata yang berada dalam wanawisata, antara lain Pancuran Pitu (Pancuran Tujuh) berupa sumber air hangat yang mengandung berbagai mineral khususnya belerang.

Untuk menjangkau Pancuran Pitu, pengunjung yang tidak membawa kendaraan pribadi dapat memanfaatkan angkutan wisata yang tersedia di Terminal Baturaden dengan ongkos Rp6.000 per orang.

"Namun saat memasuki wanawisata, setiap wisatawan dikenakan tarif sesuai dengan tiket yang dibutuhkan," kata Sutoto.

Menurut dia, wisatawan dapat memilih tiket lokal dengan tarif Rp5.000 pada hari biasa dan Rp7.500 khusus hari ramai (libur) atau tiket terusan dengan tarif Rp10 ribu untuk anak-anak dan Rp15 ribu untuk dewasa.

Untuk tiket terusan ada yang dijual di tempat tertentu di wanawisata seharga Rp12.500, kata dia, dengan asumsi pengunjung telah membayar tiket masuk.

Selain Pancuran Pitu, wanawisata Baturaden juga menawarkan keindahan panorama Telaga Sunyi, kebun raya, kegiatan outbound, paintball, bumi perkemahan yang mampu menampung lebih dari 200 tenda, dan beberapa kegiatan lain.

Sejarah

Keberadaan Baturaden tidak lepas dengan dua cerita yang telah melegenda secara turun-temurun tentang asal-usul tempat tersebut yakni Kadipaten Kutaliman dan Patilasan Syekh Maulana Maghribi.
Dalam versi pertama disebutkan tentang kisah cinta seorang pembantu dengan putri seorang Adipati dari Kadipaten Kutaliman yang berada di sebelah barat Baturaden.

Kisah cinta mereka tidak direstui sang adipati dan diusir dari kadipaten. Pada akhir pengembaraannya, mereka menemukan sebuah tempat yang asri dan diputuskan untuk menetap di sana.

Berdasar pada kisah tersebut, tempat itu dikenal dengan nama "Baturaden" yang berasal dari kata "batur" (pembantu) dan "raden" (majikan).
Sementara itu, dalam versi lain menyebutkan pada saat Syekh Maulana Maghribi (ulama dari Turki) melakukan perjalanan menyebarkan agama Islam dan menetap di Banjarcahyana, dia menderita penyakit kulit yang sulit disembuhkan.

Dia pun menjalankan salat tahajud dan mendapatkan ilham agar pergi ke Gunung Gora. Dengan ditemani sahabatnya, Haji Datuk, dia berangkat ke gunung itu.

Sesampainya di lereng gunung itu, Syekh Maulana Maghribi meminta Haji Datuk meninggalkannya. Di tempat itu, dia menemukan sumber air panas dengan tujuh pancuran sehingga disebutnya sebagai Pancuran Pitu.

Selama berada di sana, Syekh Maulana Maghribi selalu menggunakan air tersebut untuk mandi hingga akhirnya penyakit kulit yang diderita hilang.

Warga di sekitar Pancuran Pitu menyebut Syekh Maulana Maghribi dengan sebutan Mbah Tapa Angin atau Mbah Atas Angin lantaran berasal dari negeri yang sangat jauh.

Hingga kini, tempat yang pernah ditempati Syekh Maulana Maghribi dikenal dengan Patilasan Mbah Tapa Angin dan selalu dikunjungi orang-orang dari wilayah Pekalongan, Banjarnegara, dan Purbalingga setiap malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon.

Sementara itu, tempat teman Syekh Maulana Maghribi menunggu dikenal dengan nama Baturaden yang berasal dari nama Haji Datuk Rusuhudi yang artinya pembantu setia. Selain itu, nama Gunung Gora pun diganti dengan Gunung Slamet yang berarti selamat.

Read More......