Dari Sungai Musi, ke Bukit Siguntang

SEBAGAI ibu kota Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), Kota Palembang bisa dijadikan batu pijakan sebelum melangkah ke berbagai obyek wisata di berbagai kabupaten dan kota lain di daerah ini. Sebagai kota tua, kota pempek ini memiliki segudang obyek wisata unggulan baik berupa peninggalan sejarah, budaya, maupun juga obyek wisata alam berupa Sungai Musi dengan Jembatan Ampera-nya.Sungai Musi memang identik dengan "denyut" Sumsel.

Secara tradisional, sungai yang membelah Kota Palembang menjadi dua bagian yakni Seberang Ulu dan Seberang Ilir ini sejak dulu berperan sebagai urat nadi perekonomian daerah ini. Tidak saja digunakan sebagai jalur pelayaran kapal besar, Sungai Musi dipadati pula perahu tradisional yang membawa berbagai hasil bumi, hasil perikanan, dan lain-lain.

Di kiri-kanan hampir sepanjang Sungai Musi, dapat disaksikan deretan rumah rakit (rumah terapung) khas Palembang. Di sungai ini pun membentang Jembatan Ampera, satu nama yang melekat utuh bagi Kota Palembang sejak dulu. Panjang jembatan monumental yang dibangun sekitar April 1962 tersebut mencapai sekitar 1.177 meter dan lebar 22 meter.

Barangkali karena kekhasannya itulah, maka Sungai Musi dan Jembatan Ampea-nya, ditempatkan jajaran pariwisata Sumsel sebagai salah satu dari sekian obyek wisata unggulan. "Sebagai trademark-nya Palembang, keberadaan Sungai Musi dan Jembatan Ampera memang tidak bisa diabaikan. Apalagi kecenderungan selama ini, tiap orang yang baru menginjakkan kakinya di Sumsel (baca: Palembang) selalu merasa belum lengkap jika tidak sempat melihat Sungai Musi dengan Jembatan Amperanya," tutur Kepala Badan Pariwisata Daerah (Baparda) Sumsel Baidjuri Asir memberi alasan.

Akan tetapi, meski jadi kebanggaan wong Palembang, Sungai Musi dan Jembatan Ampera kini tak lebih dari sekadar monumen kejayaan masa lalu. Jembatan Ampera tak lebih dari sebatas penghubung antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Untuk dijual sebagai unggulan pariwisata tampaknya diperlukan sentuhan lebih serius lagi.

"Obyek pariwisata itu tidak semata-mata dilihat, tetapi juga dinikmati dan dirasakan. Coba datang ke Sungai Musi dan Jembatan Ampera, tak jelas orang mau bagaimana sampai di situ. Boro-boro untuk duduk santai, jalan kaki saja jiwa sudah terancam. Selain tak ada tempat untuk rileks sesaat, kawasan jembatan dan pinggiran Sungai Musi pun kalau sudah sore rawan kriminalitas," kata Hendra, pramuwisata di Palembang.

Tantowi Yahya, presenter yang juga wong Palembang, dalam pertemuan dengan Gubernur Sumsel Rosihan Arsyad, 7 Februari, juga menyampaikan kerinduannya terhadap kondisi Sungai Musi dan Jembatan Ampera masa lalu. "Ketika kecil, sekitar awal tahun 1970-an sungai ini masih bening dengan dihiasi rumah rakit dan lalu-lalangnya perahu tradisional. Jembatan Ampera ketika itu juga sangat terawat, nyaman, dan jauh dari kebisingan," ujarnya.

Sekarang, kata Tantowi, sebagai aset wisata yang memang sudah dikenal, Sungai Musi dan Jembatan Ampera seolah nyaris tenggelam oleh kesemrawutan Palembang. Jika keduanya ditempatkan sebagai objek unggulan, idealnya harus didukung berbagai fasilitas, prasarana dan sarana kepariwisataan.

"Barangkali penataan kawasan sekitar Jembatan Ampera dan Sungai Musi perlu dipercepat dan dilakukan secara terencana. Misalnya, dengan menyediakan pusat jajanan pempek (baca restoran) terapung, tempat bersantai untuk menikmati gemericik air, dan temaram Sungai Musi di waktu malam terutama fasilitas yang orientasinya menggiring wisatawan menikmati sungai kebanggaan warga Sumsel tersebut," kata Tantowi sembari mengidentikkan Sungai Musi dengan sungai yang membelah Budapes.

SELAIN Sungai Musi, di Palembang pun kita bisa mendatangi obyek wisata lain berupa Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya dan Bukit Siguntang. Khusus Bukit Siguntang yang berada sekitar 27 meter di atas permukaan laut, selama ini disebut sebagai tempat makam raja-raja Palembang. Salah satunya adalah makam Raja Sigentar Alam yang dijadikan tempat bersumpah beberapa peziarah.

Bukit keramat yang tidak berapa jauh dari pusat Kota Palembang arah barat itu, selama ini ramai dikunjungi selain untuk ziarah juga bernazar. Konon pada zaman Sriwijaya, bukit ini merupakan tempat suci bagi penganut agama Buddha. Sebagai tempat yang disucikan, menurut sejarah di tempat itu dulunya bermukim sekitar 1000 pendeta Buddha.

Menurut catatan buku Pariwisata Sumsel, pada tahun 1920 di Bukit Siguntang ditemukan arca Buddha bergaya Amarawati dengan wajah tipikal Sri Lanka dan diduga berasal dari abad XI Masehi. Arca tersebut kini diletakkan di halaman Museum Sultan Machmud Badaruddin, di samping Benteng Kuto Besak-salah satu benteng peninggalan sultan yang dibangun tahun 1780 M-persis di tepi Sungai Musi.

Sebagai obyek wisata purbakala, keberadaan Bukit Siguntang memang tak bisa diabaikan. Persoalannya kini, kawasan bukit itu nyaris seperti ditelantarkan. Rumput ilalang dan belukar hampir menutup kompleks bukit keramat ini. Sekiranya tidak ada papan nama di dekat pintu, wisatawan pun akan kecele dan barangkali tidak percaya di balik tembok tinggi berlumut itu terdapat makam raja-raja Palembang.

MENJUAL obyek pariwisata tidak bisa seperti menjual kucing dalam karung. Sekali itu dilakukan, para wisatawan akan komplain dan dampaknya sangat besar berubah menjadi propaganda yang merugikan.

Beberapa petugas pemasaran biro perjalanan wisata di Palembang menyarankan, jika Pemda Sumsel menempatkan pariwisata sebagai unggulan, disarankan agar jangan sekadar slogan penghias bibir belaka. Hal-hal yang dipromosikan, yang dijual ke luar harus sesuai dengan fakta di lapangan.

"Silakan promosi ke mana-mana. Namun, berbarengan dengan itu obyek wisata harus dibenahi sejalan dengan pembangunan infrastruktur dan sarana pendukung. Tidak saja jalan, fasilitas umum di sekitar obyek wisata pun harus tersedia memadai seperti WC umum, tempat jajan, dan lain-lain," ungkap Hendra.

Soal jalan, barangkali merupakan salah satu kendala dalam memacu pertumbuhan sektor kepariwisataan di Sumsel. Sebab, sebagian besar akses jalan dari ibu kota provinsi ke sejumlah kabupaten dan kota di daerah ini dalam kondisi rusak berat. Ini jelas masalah mendasar yang menghadang. Sebab, siapa pun pasti sependapat tujuan akhir wisatawan ke daerah ini nantinya bukanlah sekadar Palembang, namun juga bisa menyebar ke kota/kabupaten lain.

Dari Palembang-Muaraenim-Baturaja terus ke Danau Ranau, misalnya, sama sekali tak bisa disebut mulus karena banyaknya lubang. Ke arah Jambi mulai dari Palembang-Betung-Banyulincir (Musibanyuasin) kondisinya juga tak banyak beda. Hal yang sama pun ditemui antara ruas Lahat-Tebingtinggi- Lubuklinggau yang termasuk klasifikasi jalan negara.

Kondisi jalan di Sumsel saat ini sebagian memang tidak nyaman dilewati. Jangankan tidur sekejap di kendaraan yang sedang melaju, untuk duduk santai sejenak saja merupakan hal yang sulit.

Guna mewujudkan obsesi pariwisata sebagai sektor unggulan, pemerintah Provinsi Sumsel tampaknya memang harus kerja keras. Selain menata obyek wisata dengan berbagai fasilitas dan perangkat pendukungnya, masyarakat pun harus dilibatkan. Sehingga mereka diharapkan mendapat nilai tambah dari sektor ini.

Siapa pun pasti tidak sependapat, ketika sektor pariwisata maju pesat, masyarakat lantas kian terpuruk. Harus diingat, pariwisata dengan wisatawannya bukanlah pertunjukan yang cuma sebatas ditonton masyarakat.

No comments: